hening dalam bising

MEMANDANGI layar komputer untuk membaca teks dalam rupa electronic paper mungkin menyenangkan bagi sebagian orang, tapi tidak untuk saya.

Pada dasarnya, menyenangkan atau tidak adalah pilihan.

Beberapa malam lalu saya memutuskan untuk perlahan mengikuti alur tuturan dalam kertas elektronik tersebut. Ah… migrain kumat, mata sepet. Hahaha

Tapi, dari “ke-sepet-an” mata saya mendapati beberapa runut kalimat yang… entahlah apa padanan katanya.

Begini si penulis menuturkan* :

Kokok ayam jantan inilah yang menggugah para burung yang tadinya diselimuti kegelapan malam, menyembunyikan muka ke bawah selimut tebal dan hangat dari sayap mereka, kini terjadilah gerakan-gerakan hidup di setiap pohon besar dan terdengar kicau burung yang sahut-menyahut, bermacam suaranya, bersaing indah dan ramai namun kesemuanya memiliki kermerduan yang khas. Sukar bagi telinga untuk menentukan mana yang lebih indah, karena suara yang bersahut-sahutan itu merupakan kesatuan seperangkat alat musik yang dibunyikan bersama. Yang ada pada telinga hanya indah! Sukar dikatakan mana yang lebih indah, suara burung-burung itu sendiri ataukah keheningan kosong yang terdapat di antara jarak suara-suara itu.

 

hening (pada telinga) di tengah bising (debur laut). [dok. pribadi/West Madura Offshore, 2013]
hening (pada telinga) di tengah bising (debur laut). [dok. pribadi/West Madura Offshore, 2013]

Dari penelurusan yang baru beberapa langkah, saya katakan kepada kawan, “makna ceritanya bersayap. ya nggak sih?”.

“Filsafat pasti bersayap,” jawab kawan. “Kepenuhan dalam keheningan, ya. Isi dalam kehampaan. Kenyataan dari ketidakadaan”.

Kutimpali, “hening dalam bising. Remember that”.

*Novel Bu Kek Siansu karya Kho Ping Hoo.

Leave a comment