Gelora Bung Asep…?

    Oleh Dinihari Suprapto

ONTEL ini kukayuh sekuat tenaga tanpa peduli kemungkinan rodanya tergelincir masuk ke kolam lele di kanan dan kiri. Karena penerangan tak memadai dan lebar jalan ini pun hanya mampu dilewati satu baris sepeda motor maka goes sepedaku lebih didominasi instuisi ketimbang perhitungan tertib lalu lintas.

Hanya obor atau lampu petromak seadanya di halaman depan rumah-rumah yang kulewati yang membantu menerangi jalan. Kalau mau jujur, penerangan itu tak memadai karena masing-masing rumah saja jaraknya paling dekat lima puluh meter.

Berkali-kali tetesan keringat coba mengacaukan jarak pandangku, tapi aku tak henti melawannya dengan membuat mata ini kian melotot. Daya ingat atas kondisi jalanan tanah dan kemampuan pandang jadi kunci jika ingin selamat di jalur ini hingga tiba di rumah. Untungnya, aku memiliki kedua hal tersebut.

Hampir 20 tahun aku melintasi jalan desa Tegal Sari ini. Mulai dari penerangan hanya mengandalkan cahaya bulan sampai kini hadir sinar lampu di setiap pos kamling, aku sudah hilir mudik di kampung ini. Di mana letak lubang kecil dan besar  semua kuhafal di luar kepala.

Kalau tukang ojek membutuhkan waktu 20 menit menembus perjalanan dari alun-alun desa sampai ke rumah Mbok Jono, aku hanya menghabiskan 15 menit. Melihat kemahiranku mengendarai sepeda di jalanan yang 70 persennya rusak dan berlubang macam ini mestinya aku sudah lama direkrut jadi atlet balap sepeda.

Sepanjang jalan sepi sekali. Kalau ndak salah baru tiga orang yang berpapasan denganku sepanjang perjalanan lima kilometer ini. Maklum, warga desa pasti berpikir dua kali mau keluar rumah dengan jalanan blok dan becek sehabis diterpa hujan seperti sekarang. Satu-satunya suara yang kudengar sejak tadi adalah koor jangkrik dan gemerisik keranjang karak yang bercokol di belakang ontelku. Keranjang teriplek itu bergetar setiap kali roda menerjang tanah berlubang atau permukaan jalan yang tak rata.

Hari ini aku pulang jauh lebih malam dan pergi lebih pagi dari biasanya. Semangatku membara sekali. Apa lagi setiap kutatap sekelebat baliho-baliho berlogo sepasang komodo yang lebih mirip cicak di jalanan menuju pasar Bringharjo. Lebih dari seminggu spanduk dan baliho-baliho itu mejeng di pinggir jalan. Karena seringnya melihat, aku sampai isi tulisannya. Kurang lebih berisi permintaan orang-orang Jakarta supaya masyarakat mendoakan pelaksanaan SEA GAMES ke-26 di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) dan Jaka Baring.

“Koe arep pergi ke Jakarta numpak opo tho? Orang usah repot-repot ke Stadion Bung Karno, ndelok neng tivi wae, pancen murah!” itulah jawaban Fuad tadi siang, salah satu agen penyalur dagangan karakku istilah bisnisnya reseller, ketika mendengar keinginanku nonton bola di  GBK.

“Sembarangan kamu. Makanya kalo ndelok tivi iku ojo sing ditonton film-film klenik wae. Lihat berita dong! GBK iku neng Jakarta, dan Jakarta iku keren. Kata temanku, everything are avalaible there.. opo wae ono neng Jakarta,” jawabku sembari membantu Fuad memasukkan karak kekaleng-kaleng dagangannya.

Fuad merupakan salah satu reseller karak buatan Mbok Jono, ibuku, yang terlama. Memang belum lama Fuad dagang karak karena ia hanya melanjutkan usaha budenya yang kini sudah tua. Selepas lulus SMA tak ada yang bisa dilakukannya kecuali melanjutkan bisnis keluarga: menjadi reseller karak. Keadaannya tak jauh beda denganku. Ya mau bagaimana lagi, kalau ndak jualan seperti ini nanti kami ndak bisa makan.

Aku dan Fuad sempat satu sekolah ketika SMP, karena itulah kami cukup akrab sekarang. Terlebih, di pasar itu isinya kalau bukan mbok-mbok pedagang sayur, bumbu dapur, atau pemarut kelapa berarti bapak-bapak atau mas-mas tukang ayam, daging, penjual pakaian dalam, dan banyak lagi. Sulit mendapatkan teman seumuran, karena itu sejak Fuad dagang karak ia menjelma jadi kawan bicara paling normal bagiku.

Dulu sebelum aku yang setiap hari mondar-mandir rumah dan pasar Mbok-lah yang melakukannya. Sekarang, ketika waktuku tak lagi tersita di dalam kelas untuk belajar maka menjual karaklah kegiatanku. Iri kalau ingat beberapa teman dekat yang sekarang melanjutkan kuliah di perguruan tinggi, baik dalam maupun luar kota, tapi nasib masing-masing orang kan berbeda. Yang penting sekarang, aku dan Mbok bisa makan.

Masih sambil mengayuh sepedaku di jalanan kampung berudara lembab ini, aku ingat ucapan Fuad lagi. Dia bilang, “Koe yakin Jakarta iku nduwe segalane? Paling-paling juga cuma diisi sama wong Jowo meneh”.

“Hush.. ngawur! Di sana itu banyak orangnya. Ada orang jawa, sunda, batak, malahan orang luar negeri juga banyak,” ucapku membantah pendapat Fuad.

“Sok tau kamu. Buktine, stadionnya saja jenenge wong Jowo, Sukarno. Kalau neng kono juga ono suku lain, seperti sunda, harusnya ada Stadion Gelora Bung Asep!” tuturnya asal.

Aku jadi senyum-senyum sendiri ingat ucapan polos Fuad itu. Gelora Bung Asep.. ada-ada saja dia. Tapi mungkin saja ada. Tak sempat kuperpanjang dugaan keberadaan stadion Bung Asep itu, karena sekarang aku sibuk menurunkan keranjang karak dari sepeda dan membawanya ke dapur.

“Assalammu’alaikum Mbok… Karaknya masih sisa dua lusin,” ujarku setengah berteriak sambil memeluk keranjang karak dan mendorong pintu rumah langsung menuju dapur.

Mbok langsung keluar dari kamar masih sembari mengenakan mukena. “Iya ndok.. ora opo-opo. Koe sampun mangan?”

“Durung Mbok..” jawabku lagi.

===

Praaaaang!!!

Aku membanting celengan ayamku. Sebelum kuhempaskan celengan itu sempat kupeluk terlebih dulu. Sedih rasanya melihat benda itu terpecah belah di lantai dengan isinya yang terurai-burai. Tapi… kalau istilah kerennya: komitmen. Aku berkomitmen membongkar si Ayam itu pagi ini setelah tiga tahun lebih kuberi makan berupa lembaran uang dan berbagai nomimal koin terus-menerus.

Mendengar suara gaduh jam empat pagi begini tentulah Mbok langsung menghambur masuk ke kamarku. “Oalahhhh kamu kenapa tho ndok? Kok celengannya dibongkar? Mbok masih punya simpanan untuk membiayai dagangan karak kita kalau modalnya memang habis,” ucap dia.

Sambil memunguti uang dari celengan yang tercecer aku menjawab, “Tenang saja Mbok. Wening sengaja membongkar ini karena memang sudah waktunya. Lusa aku arep ke Jakarta, Mbok.”

Mbok ikut membantu merapikan lembaran uang yang terlipat dan tergeletak di lantai. Ia kaget mendengar ucapanku.

“Wening mau nonton pertandingan bola final Sea Games, Indonesia lawan Malaysia!”

Sehabis mendengar pernyataan barusan tentu Mbok-ku semakin terperanjat. Ia bicara panjang sekali nyaris tanpa jeda. Mulai dari kalimat tentangan, pertanyaan, kekhawatiran, hingga penasaran.

“Mbok tenang wae neng omah. Ojo kuatir. Aku sudah diberi peta ke GBK karo Reni, anaknya Bu Bariah tukang ayam di Bringharjo yang sekarang sekolah di Jakarta itu lho. Reni memberitahu ibunya lewat telepon rute yang harus kutempuh untuk bisa sampai ke stadion Bung Karno. Dan Bu Bariah mencatatnya di kertas saat Reni telepon lalu memberikan itu ke aku.”

Mbok hanya menghela nafas sembari melepas lipatan-lipatan uang kertas ditangannya serta menghitungnya. Mungkin dia bingung harus melarang atau bagaimana. Ia pun tak tega melakukan itu, menurutku, karena selama ini aku tak pernah meminta apapun darinya. Dan inilah pertama kali ia melihatku begitu antusias sampai rela membongkar celengan juga bersemangat untuk berangkat ke Jakarta, kota yang belum pernah kujamah sekaligus baru tiga kali ia datangi seumur hidup.

“Berapa hari koe neng kono? Karo sopo?” akhirnya Mbok berkomentar.

Aku menyeringai senang. “Paling lama empat hari Mbok. Karo Reni-lah. Reni bilang, dia sudah pesankan aku tiket. Dan kami ndak berdua Mbok. Ada beberapa temannya juga yang ikut. Reni bilang dia mau jemput aku di stasiun Gambir, tapi untuk jaga-jaga kalau kami ndak ketemu makanya dia memberiku rute ke stadion itu. Mbok tau Gambir?”

Mbok hanya mengangguk. Kutangkap ada gurat sedih, kaget, dan khawatir di wajahnya. Alis berubannya tertaut satu sama lain.

Aku letakkan koin-koin ayng sudah dikumpulkan di lantai. Kudekati Mbok, “Mbok.. aku boleh berangkat ndak?”

Ia tetap tak menjawab. Kutunggu jawabannya. Tapi yang keluar dari bibirnya hanya, “Sing penting saiki, koe solat subuh, adus, sarapan, terus melu neng pasar”.

Seperti biasa, ontel mulai kukayuh pukul setengah enam pagi. Kali ini genjotanku begitu kencang. Pertama kalinya aku berhasrat untuk bisa tiba di pasar dalam sekejap mata. Kemudian pada kedipan selanjutnya aku berada di stasiun, mengantre beli tiket kereta. Semangat ini tak lain karena berhasil kudapatnya restu Mbok.

Saat aku sedang menjejalkan karak ke keranjang, ia berkata lirih, “Kalau uangnya ndak cukup untuk beli tiket pulang pergi bilang Mbok, nanti Mbok tambahi. Kamu ndak jual karaknya sampai habis ndak apa hari ini, yang penting kamu ndak kehabisan tiket kereta pulang pergi”.

Aku girang bukan kepalang mendengar itu.

===

Wening Kartika memang bukan mania bola atau bonek yang sering nekat merusuh supaya bisa masuk ke stadion tanpa bayar tiket. Wening Kartika, anaknya Mbok Jono, pun bukan backpacker yang tak khawatir kesasar atau kecopetan ketika mendatangi kota ternama yang belum pernah dijejaknya. Bahkan, Wening Kartika , anak penjual karak yang kini meneruskan bisnis keluarga, juga ndak punya HP pun ndak bisa mengoperasikan GPS untuk mengetahui suatu lokasi melalui sambungan satelit.

Inilah pertama kalinya aku tahu bagaimana rasanya jadi orang nekat. Pergi ke Jakarta untuk menyaksikan laga final Garuda Muda beradu strategi dengan tim Negeri Jiran di rumputnya Bung Karno, adalah hal pertama yang sangat aku inginkan selain membahagiakan Mbok.

Aku ingin saksikan dengan mata kepalaku sendiri seberapa hebat Malaysia yang selama ini sering bersengketa dengan Merah Putih. Negeri yang katanya kemerdekaannya adalah hadiah penjajah bukan dari perjuangan rakyat. Tanah yang kulihat di televisi tak henti mendebatkan tapal batas wilayah dengan negaraku. Malaysia, yang sering dimusuhi orang Indonesia karena, katanya, mereka kerap menjiplak karya cipta RI. Itu pula negara yang jadi salah satu penadah terbesar para TKI. Malaysia, negara yang guruku pernah bilang sering ngenye’ orang Indonesia dengan sebutan Indon. Serta negeri yang disebutkan Reni dengan, ‘mereka paling dikencingi dan diludahi orang se-Indonesia juga tenggelam’.

Reni dan Bu Bariah itu kenal baik dengan Mbok. Dulu setiap kali aku kelaparan di sekolah, Reni adalah satu-satunya teman yang selalu mentraktirku di kantin. Sedangkan ibunya, adalah orang yang tak pernah pikir panjang saat hendak meminjami Mbok uang kalau anggota keluarga kami sakit, sekalipun Bu Bariah sendiri sedang pas-pasan.

Reni tahu aku ndak punya telepon genggam ataupun telepon rumah. Karena itu ia hanya bisa menghubungiku lewat surat. Sebab meski kami punya e-mail, tapi kampungku masih jauh dari jangkauan warnet apalagi internet masuk desa yang dicanangkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Tadi kami, aku Reni dan dua orang temannya, melewati loket tiket hangus. Dengar-dengar, loket itu habis dibakar supporter Merah Putih yang tak terima diberi tahu bahwa tiket pertandingan habis. Kami tak ada yang berani komentar. Aku sendiri bingung mau menyalahkan siapa. Di satu sisi harusnya pembeli tiket bisa bertindak lebih bermartabat ketimbang harus membakar atau merusuh di stadion macam itu. Tapi di sisi lain, memang banyak tiket yang dikorupsi. Bahkan, kata Reni, ada oknum Polisi yang sengaja menyelundupkan penonton tanpa diberi tiket namun mereka tetap diminta bayar tiket. Cara masuknya, mengikuti si oknum itu dibelakangnya agar saat di pintu pemeriksaan tiket mereka tak ditagih karcis. Seolah penjaga gerbang tahu itu penonton bawaan si polisi tersebut.

Syukurlah, dzikirku semalaman di kereta ditambah doa Mbok di rumah mampu membawaku selamat hingga berhasil duduk di kursi ini. “Ning, sekarang kita ada di deretan tribun tiga GBK. Ingat ya, tribun tiga..!” ucap Reni dengan nada tinggi di dekat telingaku.

Aku mengangguk tanda mengerti.  Kalau Mbok tahu aku bisa sampai Jakarta dan duduk di stadion Bung Karno pasti dia kagum. Hahahaa..

Akhirnya aku bisa lihat lapangan hijau itu. Di kampung, lapangan bolanya cokelat karena tak berumput. Tapi di sini hijau, maksudku agak hijau, karena rumputnya tak tebal dan  banyak yang rusak juga sih. Tadi salah seorang teman kosan sekaligus kuliahnya Reni bilang, aku ada di tempat yang sama dengan Pak Andi Malarangeng. Meski sejauh mata memandang aku tak mampu menemukan wajah itu dalam kerumunan ribuan orang ini.

“Kamu ingat kan lagu yang kunyanyikan tadi?” tanya Reni lagi.

“Ingat. Kapan kita akan menyanyikannya?”

“Nanti, kalau penonton lain mulai bernyanyi kita ikutan”.

 

Garuda didadaku, Garuda kebanggaanku. Kuyakin hari ini, pasti menang.. Kobarkan semangatmu, tunjukan sportivitasmu. Kuyakin hari ini, pasti menang..! Reni tak tahu saja, sejak tadi di bus aku merapal lirik itu terus dalam hati.

Kami berempat menunduk, bergandengan tangan, dan berdoa. Tak hanya kami, mayoritas seluruh supporter di stadion, atau bahkan penonton di luar sana, pun melalukan hal sama. Bagi pendukung Merah Putih, tentunya yang kami doakan adalah kesuksesan bagi setiap tendangan dari lima pemain ke gawang Malaysia pada sesi pinalti ini mulus melesak jaring gawang lawan. Agar, Garuda Muda dapat mengakhiri skor  1-1 ini melalui kemenangan adu pinalti. Begitu pun sebaliknya dengan supporter negeri Jiran.

“Huu…”

“Yeah..”

Suara itu bergemuruh menggema di stadion secara bergantian. Saat pemain Malaysia gagal menembus gawang RI maka yang terdengar “Huuu…”. Tetapi ketika pemain RI yang sukses melesatkan gol ke gawang Malaysia yang diteriakkan adalah “Yeah…”. Aku menikmati ini sambil berharap cemas.

Pada akhirnya, aku mesti menyaksikan orang-orang disekeliling baik yang kukenal maupun tidak terdiam, terperanjat, lunglai, bahkan banyak yang menangis. Aku? Sedih tentu saja. Datang dari desa kecil di Yogyakarta ke ibukota demi malam ini, tapi harus menelan hasil seperti ini. Garuda Muda kalah pinalti dari negeri yang menyebutku ‘indon’.

“Kita memang bukan pemenangnya, tapi kita juaranya…!” Kalimat barusan itu refleks kuteriakkan sambil berdiri di atas bangku dan mengepalkan tangan ke udara.

Tak semua orang peduli, tapi mereka yang mendengarku semua tepuk tangan. Reni dan dua temannya tersenyum padaku dengan sesenggukkan. Mungkin ini satu-satunya kesempatanku hinggap di ibukota. Meski hanya stadion ini yang kutandangi setibanya di ibunda Merah Putih, aku sudah merasa cukup. Cukuplah kurasakan semangat kebanggaan terhadap Garuda (baca: nasionalisme) yang katanya terkikis dari sanubari orang kota, ternyata penilaian itu tak seutuhnya benar.

Saat berduyun keluar dari stadion aku berbisik pada Reni, “Ren, kalau stadion Bung Asep itu di mana?”.

*** tamat ***

                                                Tangerang, November 2011